Rabu, 10 Oktober 2007

Road to Paradise For Professional Surfer Plengkung Beach (G-Land) Alas Purwo Forest

Perjalanan Ke Plengkung Banyuwangi kami lakukan sekitar tahun 93-94 ketika libur sekolah.


Pagi itu aku berkemas menyiapkan segala keperluan dalam perjalananku untuk kemping ke Pantai Plengkung Alas Purwo yang lebih dikenal diluar negri dengan nama G land. Aku berangkat bersama 4 orang teman sekolahku SMA Negeri 1 Glagah yaitu Robi, Candria dan sikembar Rino dan Rido. Kami semua berkumpul dirumah si kembar dan berangkat dari rumah mereka, karena kita akan diantar oleh Bapak si kembar dengan menggunakan mobil suzuki katananya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam sejauh ±60 km akhirnya kami sampai di desa Kalipahit kecamatan Tegaldlimo. Kami segera mencari rumah teman sekolah kami yang bernama Tomi yang tinggal di desa tersebut. Menurut Tomi perjalanan ke Plengkung masih jauh, kita harus menuju Pantai Trianggulasi dengan mobil atau motor karena jaraknya sekitar 12 Km, kemudian perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menyusuri pantai dan hutan Alas Puwo untuk mencapai Pantai Plengkung karena di Trianggulasi tidak ada penyewaan perahu atau motor boat.
Akhirnya kami menyewa mobil untuk mencapai Pantai Trianggulasi, perjalanan ditempuh kurang lebih 30 menit, menjelang sore kamipun sampai. Sesampainya di trianggulasi kami beristirahat sejenak untuk makan siang walaupun terlambat dengan bekal yang kami bawa dari rumah sambil menyaksikan pemandangan laut dan burung burung camar yang berterbangan dan hinggap dipasir pantai. setelah puas kamipun melanjutkan perjalanan menuju plengkung dengan menyusuri pantai dengan berjalan kaki.
Ditengah perjalanan kami melewati pasir yang butirannya gede – gede berdiameter ± 2 mm. Oooo ... ternyata ini yang dinamakan pasir gotri, bener kata orang diplengkung ada pasir gotri yang kalo kita lewati pasir tersebut akan capek karena kaki kita terbenam sampai diatas mata kaki, bener – bener capek. Akhirnya kamipun memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan melewati pinggir hutan, setelah mencari ternyata kami menemukan jalan setapak.
Hutan Alas Purwo adalah hutan berjenis Heterogen karena berbagai macam tumbuhan ada disini, bahkan menurut cerita penduduk sekitar Pohon Sawo Kecik yang ada Di Istana Negara Jakarta diambil dari hutan ini pada masa Pemerintahan Suharto, Konon katanya untuk menangkal semua santet dan teluh dialamatkan ke Presiden Suharto.
Ditengah perjalanan kami bertemu sekelompok orang penduduk sekitar Hutan Alas Purwo sedang mencari rumput laut, mereka menyarankan agar hati hati melewati hutan ini karena masih banyak binatang liar terutama harimau jawa yang masih suka berkeliaran di hutan ini. Setelah mengucapkan terima kasih atas peringatan yang diberikan kamipun melanjutkan perjalanan, dan tidak lama berselang kami menemukan rusa betina sedang kebingungan seperti dikejar kejar harimau dan kamipun mengejarnya tapi rusa itu gesit sekali dan akhirnya masuk kembali ke hutan.
Selama perjalanan kami banyak menemukan hewan liar penghuni hutan ini, setelah bertemu rusa seekor elang yang besar terbang rendah diatas pepohonan, kemudian kami bertemu sekawanan monyet yang bergelantungan diatas pohon, ternyata benar apa yang disampaikan sekelompok orang tadi.
Akhirnya menjelang malam kami sampai di sebuah pondok dipinggir hutan yang dihuni oleh kakek dan nenek, dan kami pun minta ijin mereka untuk numpang bermalam dengan mendirikan tenda disekitar rumah mereka, dan mereka mengijinkan dengan syarat tidak boleh berisik, akhirnya kamipun medirikan tenda dibawah pohon dekat rumah mereka. Karena gelap dan kamipun tidak membawa lampu penerangan yang cukup akhirnya kami mendirikan tenda seberdirinya yang penting ada tempat buat kami istirahat.
Keesokan paginya kamipun melanjutkan perjalanan menuju pantai plengkung setelah berpamitan dengan kakek dan nenek penghuni Alas Purwo tersebut. Pada saat aku bikin tulisan ini aku berfikir apakah kakek dan nenek tersebut masih hidup kemungkinan besar sih udah meninggal udah belasan tahun yang lalu, kalopun masih hidup mungkin udah sangat renta sekali. Tidak berapa lama kamipun sampai di sebuah hotel yang terbuat dari bambu kelihatan alami. Pada saat bersamaan perutku terasa sakit dan ingin buang hajat, akhirnya aku memutuskan untuk masuk ke penginapan tersebut untuk buang hajat, daripada harus buang hajat di pantai.
Sesampainya didalam penginapan aku bertemu dengan lelaki setengah baya sedang membuat atap genteng dari daun pohon kelapa. “Pak aku mau numpang buang hajat, perut aku sakit. Kamar mandinya disebelah mana?”tanyaku.”adik lurus aja masuk kedalam ada bangunan di sebelah kiri nah disitu tempatnya” kata bapak tersebut. “Terima kasih pak” baru kucapkan kata tersebut tiba – tiba lelaki setengah baya yang lain sepertinya keturunan jepang memanggil aku. Dengan bahasa indonesia yang terbata – bata dia mengatakan “you masuk... ijin dulu ya”. “Oh maaf pak, perut aku sakit aku mau buang hajat boleh ngga?” jawabku sambil memegang perut. “lain kali you masuk ijin ya....” lalu dia pergi begitu saja.
Selama di kamar mandi otakku berputar kemana aja pemkab banyuwangi kok tidak mengelola tempat yang potensial seperti ini yang sudah terkenal oleh surfer dibelahan manca negara, kok malah yang punya orang luar negeri. Seolah kita menjadi tamu di negeri sendiri, aku hanya diam terpaku sambil bekhayal seandainya aku banyk duit udah aku dirikan hotel juga disini dan restoran dengan menu masakan khas banyuwangi. Tapi akung waktu itu aku masih duduk dikelas 2 bangku SMA dan sampai sekarangpun masih miskin :D.
Selesai buang hajat segera aku berlari kepantai, pemandangan indah dan akung tidak satupun dari kami yang membawa kamera, belum ada kamera digital kayak sekarang hehehee... ombak Plengkung terlihat menggulung putih dikejauhan. Aku dan teman – teman hanya bisa memandang bule – bule yang sedang berselancar, karena kami memang tidak bisa berselancar dan tidak punya peralatannya. Akhirnya aku dan teman – teman menggelar tikar dibawah pohon, dan kamipun tiduran, entah karena capai atau angin pantai yang sejuk akupun tertidur lelap beberapa jam.
Begitu terbangun aku mendapati diri aku tertidur sendirian sementara Rido dan Robi sedang asyik bermain dipantai sedangkan Candria dan Rino ada diatas tower yang ada di dalam hutan sebelah penginapan. Akhirnya akupun menuju pantai menghampiri Rido dan Robi untuk memcuci mukaku dengan air laut.
Menjelang sore kamipun memutuskan untuk pulang, segera kami berkemas dan bersiap untuk pulang. Menurut info yang aku dapat dari pegawai hotel tersebut kalau mau pulang lewat hutan aja. Susuri jalan dan menginap di Pos penjaga hutan karena besok pagi ada ada truk perhutani pengangkut kayu jati dan kita bisa ikut sampai ke Benculuk. Akhirnya kamipun berjalan menyusuri hutan, ditengah perjalanan kembali kami bertemu rombongan orang pencari rumput laut dan kami disarankan untuk bermalam di pos penjaga hutan.
Hari mulai gelap, akhirnya kamipun menemukan pos penjaga hutan dan beruntung kami bisa bertemu, karena mereka sudah bersiap – siap hendak pergi. Setelah kami mendapat ijin, mereka pun pergi dan tak lupa mengingatkan agar hati – hati karena belum lama berselang harimau jawa lewat didepan pos penjaga hutan. Entah untuk menakuti kami atau memang bener, karena setahu aku harimau jawa juga ngga mau ketemu dengan manusia dan dia bisa mencium keberadaan manusia dalam radius puluhan kilo meter.
“Pantesan mereka pulang emang ternyata di pos ini ngga ada penerangan sama sekali” pikirku. Akhirnya kamipun membuat api unggun di depan pos. kami pun bernyanyi dengan gitar butut yang kami bawa mengitari api unggu sambil makan malam dengan menu seadanya. Malampun mulai larut, kamipun memutuskan untuk istirahat karena sudah capai setelah berjalan jauh.
Keesokan pagi kamipun berkemas untuk pulang, dalam pikiranku berkecamuk “apakah akan jalan kaki terus menyusuri hutan sampai menemukan perkampungan untuk sewa kendaraan mengingat perjalanan masih sangat jauh”. Untuk menghibur diri akupun bernyanyi bersama teman – temanku. “ raung buldoser gemuruh pohon tumbang...berpadu dengan jerit isi rimba raya...tawa kelakar badut – badut serakah...tanpa HPH berbuat semaunya....” lantunan lagu bang Iwan keluar dari mulutku diiringi suara gitar yang dimainkan oleh Candria.
“Alhamdulillah..... “ pekikku dalam hati, ternyata ada rombongan orang sedang menebang kayu jati dengan membawa truk, entah oknum atau dari perhutani aku ngga begitu aku gubris, yang penting aku bisa naik truk minimal sampai ke jalan raya. Ternyata mereka hendak ke Benculuk salah satu kecamatan di Banyuwangi mereka mengijinkan kami untuk menumpang. Tanpa pikir panjang kamipun naik dan dengan gembira kami ucapkan terima kasih kebapak – bapak tersebut. Ditengah perjalanan ketika truk berhenti kamipun membeli air mineral karena memang persediaan sudah habis dan membeli beberapa bungkus rokok untuk bapak supir yang membawa kami sebagai ucapan terima kasih.
Sesampainya di benculuk kamipun melanjutkan perjalanan dengan omprengan (mobil pribadi yang disulap jadi angkutan), kamipun tiba di terminal Karangente sore hari, akhirnya kamipun berpisah disini untuk pulang kerumah masing – masing. Dengan naik lin 1 akupun pulang, sesampainya dirumah langsung mandi karena udah hampir 3 hari ngga mandi (ih jorok...), dan makan, setalah kenyang akupun beranjak ke tempat tidur. hm...... udah kangen bantal... dua hari tidur ditanah tanpa bantal. Akupun terlelap..........ZzZzzzz.......Zzzzz........

0 komentar: